SUNDAPEDIA.COM – Sampurasun baraya Sundapedia! Apa kabar hari ini? Mudah-mudahan sehat semuanya, bahagia dan tidak sedang kesal.
Semua kita memang ingin selalu bahagia, tidak ingin jengkel atau marah. Kita ingin kenyataan sesuai dengan harapan. Betul tidak?
Tapi faktanya kita seringkali dihadapkan pada keadaan di mana kita tidak setuju, jengkel, marah terhadap sesuatu tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kekesalan tidak bisa diungkapkan, kemarahan hanya bisa di pendam.
Kondisi di mana kita tidak bisa menyalurkan emosi, dalam bahasa Sunda itu disebut ambek nyedek tanaga midek. Ungkapan ini merupakan ungkapan bahasa Sunda yang sering diucapkan dalam percakapan sehari-hari.
Arti “ambek nyedek tanaga midek”
Ambek nyedek tanaga midek memiliki persamaan makna dengan napsu kapegung, artinya emosi yang terpendam.
Mari kita lihat arti kata per kata dari peribahasa atau ungkapan tersebut.
Ambek artinya marah. Ini bahasa Sunda kasar, bahasa halusnya bendu. Nyedek artinya mendesak atau nyesek
Tanaga artinya tenaga, bahasa halusnya tanagi. Midek artinya mentok, lemah atau tidak berdaya.
Jadi, arti ambek nyedek tanaga midek sendiri adalah marah, emosi atau punya keinginan besar tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Kamu mungkin pernah mengalami kondisi, di mana emosi atau keinginan besar tapi tidak berdaya untuk meluapkan amarah atau menyalurkan keinginan tersebut. Tentu tidak enak bukan?
Misalnya ketika kesal pada atasan atau para orang yang dihormati. Kesal tapi tidak bisa menyalurkan atau mengekspresikan kekesalan.
Kalau kamu sedang marah, ambil wudhu agar kemarahanmu hilang. Dari Athiyyah as-Sa’di Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya amarah itu dari setan dan setan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudhu.”
Contoh kalimatnya:
Mun ngadéngé béja aya pajabat nu korupsi téh kuringmah sok ambek nyedek tanaga midek.
Artinya:
Kalau mendengar ada pejabat yang korupsi saya suka marah tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Jadi intinya, ungkapan atau peribahasa Sunda tersebut menggambarkan kondisi perasaan seseorang yang tak berdaya menghadapi kenyataan.
Demikian, semoga penjelasan ini bermanfaat.